Friday, January 20, 2017

Ujang si Gojek Hantu


"Halo, ini saya udah di depan permata. Sok aa keluar geura."

"Eh? Maksud bapa di CK Pasirkaliki kan?" Jawabku bingung.

"Permata...sok geura keluar saya udah di seberang ini.."

Prut weh. dia memutuskan telepon.

Har si Bapa naha kitu?

Account gojek di aplikasiku sama dengan yang dipakai si sulung. Teleponnya memakai nomer aku, jadi kalau si Sulung, sebut saja Koy, pesan gojek ya pasti menelepon aku. Repot iya, tapi jadi aku juga bisa memantau prosesnya. Aku pikir Koy sudah kontak lgs dg gojeknya jadi kubiarkan. Aku bisa melihat gojeknya mulai jalan ke arah rumahku.

"Mih, tadi gojek telepon mamih?" Tanya Koy via telp.

Aku menceritakan kebingunganku soal permata dan soal diputusnya telp.

"Itu gojeknya tau-tau jalan sendiri mih, Koy belum naik." Ulasnya bingung, aku tambah bingung. Lalu Koy menambahkan, "Koy pesan gojek baru aja? Mamih isi gopay berapa? Itu saldonya di Koy tinggal 12k."

Wah, kepotong saldonya padahal dia pergi tanpa membonceng Koy. Hahaha. Aya aya wae. Aku menyetujui order baru Go-ride. Aku membuka aplikasi dan melihat emang ada dua bookingan, pusingnya yang jalan sendiri dengan pede bagaikan hantu itu tak bisa aku cancel.

Akhirnya Koy berhasil diantar Kang Sandra (ugh cuco) dan meluncur pulang. Sepertinya aku harus mencari cara untuk komplain si ujang gojek hantu.

Telpku berbunyi lagi. Lagi laris rupanya, banyak yang telp.

"Bu, tadi ibu pesan Gojek ya? Saya salah bawa orang Bu. Abis namanya sama-sama Ujang, jadi waktu penumpang nanya nama ya saya bawa aja."

Nasib nama sejuta umat....

....

Anyway, Pa Ujang baik. Dia yang menelpon call center untuk membatalkan orderan agar saldoku dikembalikan. Tak lama kemudian, Call Center dari Jakarta menelponku dan semuanya rebes.

Sepertinya Pak Ujang meratapi namanya sendiri... Puk puk Ujang. Tapi setidaknya kau bukan hantu ya Pak.

Terus permata itu apa? Tanyakan kepada hantu yang bergoyang. HUSH!

Tuesday, January 10, 2017

Itinerary Yogya hari ketiga - Imogiri dan Kaliurang

"Bangun, udah jam setengah lima," dengan mata yang masih sepet dan badan yang lelah aku membangunkan bapaknya anak-anak.

"Mau liat sunrise atau tidur aja nih?" tanyaku mulai plin plan ingin meneruskan tidur.

"Tidur aja," jawabnya.

Ya sudah aku juga ikut tidur lagi. Tapi hati gak tenang, jadi ya aku bangun lagi. Plin plan memang. Fix.

"Emangnya gak sayang, tahun baru gini pasti di sana sepi karena semalam sudah pada begadang, bangunlah ya," aku mencoba menyulut motivasi, bukan buat dia saja tapi untukku juga.

"Hayu," akhirnya aku mendapat jawaban itu. Aku bergegas packing di dalam kegelapan. Kami harus sekalian check out agar tidak perlu balik lagi ke kota Yogya. Malam ini kami menginap di kaki gunung Merapi di Kaliurang.

Hari ini termasuk hari yang kutunggu-tunggu, mungkin melebihi aku menunggu Punthuk Setumbu. Daerah Imogiri punya lebih banyak destinasi yang cantik untuk dieksplorasi. Aku bahkan sudah mencoba mencari penginapan di daerah sini instead of di kota Yogya tapi fully booked.

Ini itinerary hari ketiga di daerah Bantul, Imogiri. Yang kurencanakan berbeda dengan realisasi. Idealnya berangkat pk. 4 pagi.

Pk. 4.30      Bangun, beres-beres dan check out.
Pk. 5.15      Berangkat
Pk. 6.15      Jurang Tembelan
Pk. 7.30      Kebun Buah Mangunan
pk. 9.00      Air terjun Srigethuk
pk. 11.00    Berangkat ke Kaliurang
pk. 13.00    Check in di Griya Persada Convention Hotel Kaliurang
pk. 13.30    Makan di Yu Djum (lagi) Kaliurang
pk. 14.30    Santai di Hotel, istirahat
pk. 17.00    Kopi darat dengan someone special.
pk. 19.00    Merakyat di depan Taman Kaliurang, Streetfood dan menikmati hiburan lokal.
pk. 21.00    di Hotel, bersiap-siap sunrise lavatour Merapi.

Terlihat santai ya? Actually, we skipped several destinations dan memutuskan untuk lebih take it easy daripada dikejar waktu. Iya, akhirnya aku menyimpan lagi beberapa 'kecengan' destinasi untuk kuidamkan berbulan-bulan, menunggu saatnya bisa mewujudkannya. Hahaha.. Yuk cerita.


Jurang Tembelan

Iya. Suka banget tempat ini karena gardu pandangnya cakep berbentuk perahu. Di Yogya ini cukup banyak objek wisata seperti ini, pemandangan jurang, kabut dengan gardu pandang dari ketinggian. Di daerah Dlingo sendiri ada beberapa, seperti Bukit Mojo (Sunset) Bukit Kediwung (sunrise), Kebun buah Mangunan, Menurutku Jurang Tembelan ini paling cantik bukan hanya karena gardu pandangnya tapi juga karena Sungai Oya yang melintas lembah perbukitan. Sebenarnya Jurang Tembelan ini adalah tempat melihat sunset, sama hal nya dengan Puncak Becici. Mungkin suatu hari nanti aku akan buat itinerary dengan Jurang Tembelan di waktu sunset. Indah banget. Parkir di sana dikelola warga. Ada beberapa warung makan untuk ngopi dan sarapan pagi. Belum dikenakan retribusi, tapi ada kotak untuk menyumbang serelanya.

Jurang Tembelan ini masih relatif sepi karena belum lama dipopulerkan. Itu salah satu sebab mengapa asik banget di sana! Sepi, orangnya baik-baik, antrinya gak lama.
I am ready to fly!! Up very high!
Caranya ke sana? Ikuti saja arah Kebun buah Mangunan, sebelum belok ke parkirannya ada papan petunjuk. Jurang Tembelan dekat sekali jaraknya dari sana.

Aku sih betah banget. Anak-anak ya biasa aja. Mereka makan bersama bapaknya sementara aku keluyuran memotret-motret orang-orang tak dikenal, naik sana, naik sini. Hihihi.. Setelah puas memotret barulah aku bergabung dan mencoba soto ayam dan kelapa muda. ENAK BANGET! Sampai aku puji lho mbak penjual sotonya. Segar sotonya, kelapanya muda, lembut dan manis. Asli deh enak banget. Kelapa mudanya dihargai 8k, sotonya 10k. Ugh makin cinta.

Di Jurang Tembelan itu, kami mendapat 'sabda alam' hahaha... urgent call.. telolet teloleeet... tapi toilet di sana gak ada air gegara ada yang mandi dan menghabiskan airnya! Untungnya seorang bapak dengan baik hati menawarkan kami berkunjung ke rumah.

"Di rumah saya aja, mau mandi boleh, mau nginep boleh," katanya sambil menenteng sekeresek gorengan. Kami menyambut tawarannya dengan senang hati.

Mengobrol dengan warga lokal adalah pengalaman yang menarik. Kita bukan hanya jadi penonton dan pengunjung saja, tapi berusaha untuk bisa mengenal tempat tersebut lebih dalam. Ini menciptakan keterikatan batin antara kita dan tempat itu, iya gak sih?

Bapak bertelanjang kaki itu kami undang masuk ke dalam mobil kami. Beliau merasa sungkan duduk di depan, mau duduk di paling belakang. Kotor, katanya. Ah tak mengapa, cuma kakinya saja kok yang tidak memakai alas, badannya terlihat bersih.
Aku bertanya padanya dalam perjalanan, "Pak di kebun buah Mangunan ada apa aja?"
"Ya tergantung musim. Banyak. Pohon rambutan sekarang lagi bagus bagus, durian, yang pohon pohon lainnya udah pada meninggal semua," 
Ini entah aku salah dengar atau emang dia yang lucu. Geli mendengarnya. 

Kebun buah mangunan
Beberapa ratus meter kemudian kami tiba di rumahnya. Masih sangat baru, dibangun oleh anaknya yang bekerja di kota. Beliau tinggal sendiri, aku kurang jelas di mana keluarganya karena aku langsung menuju kamar kecil ketika Hendra ngobrol dengannya sambil melihat-lihat rumah. Kasihan, beliau baru selesai berobat operasi tumor tapi makannya goreng-gorengan. Sudah kusarankan untuk makan sayur dan buah saja, jangan terlalu banyak gorengan.

Kalau sudah bercerita begini, aku kok jadi kepikiran. Siapa namanya ya, sayang sekali kami tidak berfoto bersama sebelum berpisah.

Kebun Buah Mangunan

Kami kembali ke Kebun buah Mangunan untuk berkunjung. Tempat ini masih dikelola oleh Dinas Pertanian dan perhutanan walaupun kelihatannya sumber pemasukan utamanya adalah dari wisatawan yang berkunjung, bukan dari penjualan buah-buahan.

ah susah bener difoto tanpa orang di sebelah...
Pemandangan yang kita lihat dari tempat ini memang lebih luas daripada dari Jurang Tembelan, tapi pengunjungnya juga lebih banyak dan 'bangunan' gardu pandangnya menurutku lebih berantakan. Sulit mengambil angle yang bagus di sini tanpa adanya para wisatawan lain yang lalu lalang.

Kami berada di sana sekitar pk. 8 pagi tapi matahari sudah terasa panas menyengat dan kabutpun sudah tidak ada. Kurang menarik kalau tanpa kabut, tempatnya jadi biasa-biasa saja. Jajan menjadi pilihan kedua. Sate, sosis 1 porsi isi 3 seharga 5k sudah ditambah mayonise lho, juga es dawet seharga 4k tapi rasanya kurang ngangenin. Kelapa mudanya di sini 10k tapi enak di Jurang Tembelan.  Aku mencoba makan tiwul, kue khas daerah sana. Seperti singkong atau kelapa parut. Aku sih gak terlalu suka. Kesimpulannya, tempat ini nothing special.

Tips: kita bisa parkir di dekat objek gardu pandang. Jadi jangan parkir di dekat pintu masuk, langsung saja arahkan mobil mengikuti papan petunjuk ke gardu pandang. Ada banyak petugas parkir yang mengatur keluar masuk kita.

Lebih baik gardu pandang yang kecil dan antri daripada lebar seperti ini kan
Sebenarnya ada hutan pinus yang ingin kukunjungi setelah ini. Tapi melihat keadaan Kebun buah Mangunan yang sudah kehilangan kabutnya, dan di Bandung juga ada hutan Pinus, anak-anak tak berminat lagi ke sana. Nanti sajalah kalau aku ke sana lagi, aku niatin lebih pagi lagi. HAHA. Biar dapat kabut di hutan pinus, belum pernah coba. Ada yang tahu kapan waktu yang tepat?

Air Terjun Sri Gethuk

Kami melanjutkan perjalanan, switch destinasi ke Air terjun Sri Gethuk. Dari yang aku baca, kita bisa naik rakit dan body rafting juga di sana. Anak-anak pasti suka. Jarak dari Mangunan ke sana kurang lebih 35 menit. Sekitar pk. 10 kurang kami tiba, sudah panas sekali. Di tempat yang sama, kita juga bisa mengunjungi Goa Rancang Kencono, sebuah situs purba tempat pertapaan.

Bagaimana ceritanya? Lihat caption pada gambar di bawah ini.
Expectancy 
Reality

Cendol in reality

Hehe.. mungkin kami datang di musim hujan, jadi kami mengunjungi kolam kopi susu. Airnya tidak terlalu jernih seperti yang terlihat di internet. Udaranya puanas pol. Untuk mencapai sungai kita harus menuruni tangga menurun beberapa ratus meter, so pulangnya kita harus naik ya saudara-saudara.

Naik rakit ke air terjun besar ini dikenakan biaya 10k per orang pulang pergi. Untuk body rafting dan sewa life jacket dibandrol 45k, tetapi saat itu sedang ramai sehingga harus menunggu 1.5 jam. Untung ramai, karena ketika di rakit kami melihat orang-orang yang berenang di sungai, air sungainya masuk ke mulut... hiiiy ogah.  Kami hanya sebentar sekali di air terjun besar ini. Terlalu penuh orang, tidak ada yang bisa dinikmati. Tak perlu ke sini lagi lah ya...

Kami sempatkan diri duduk-duduk di warung sambil memesan kelapa bakar untuk mengusir penasaran. Ternyata kelapa bakar itu panas sekali ya, dibakar berjam-jam sejak pagi. Sampai setengah jam kami nongkrong sambil ngemil tempe mendoan pun air kelapanya masih panas aje.

Kami bertemu dengan Mbah Jimin di warung itu. Usianya 105 tahun. Pekerja keras, setua itu masih rajin mengurus sapi dan membersihkan kandangnya.
Cicitnya Mbah sudah akan nikah. Sejak jaman Belanda saja Mbah Jimin sudah nyangkul di sawah, demikian kata cucu yang menemaninya.

Mulanya Mbah menolak untuk aku foto, katanya nanti dia disuru bayar. Haha.. gratis mbah, nda usah bayar, barulah si mbah tertawa-tawa. Orangnya ceria dan konon menyimpan duit hasil jual tiga buah sapinya di bawah kasur. Seratus juta lebih, dipakainya selembar selembar.

Mbah sehat, tidak pikun. Dia ingat punya uang berapa dan berhati-hati mengatur uangnya. Susah keluar.
Mbah pernah bertanya kepada cucunya, berapa harga sebuah mobil?
"Dua ratus juta Mbah," jawabnya.
"Itu satu pikul?" Tanyanya lagi.
Luar biasa kan? Duitnya dihitung pakai pikulan.

Goa Rancang Kencono


Hanya 50 meter dari tempat parkir mobil di dekat pintu masuk Sri Gethuk, ada situs purba yang berupa Goa. Aku dan Clay menyempatkan diri ke sana. Tempat persembunyian laskar mataram ketika mengusir Belanda dari Yogyakarta.

Ada 3 ruangan di dalam goa ini tapi kami hanya sampai di mulut goa saja. Seorang petugas mendekatiku dan menceritakan tentang Goa Rancang Kencana ini. Katanya di dalam ada prasasti garuda, dan goa ini masih suka dipakai untuk bertapa dan memberikan sesajen.

Sebuah pohon besar menjulang ini usianya sudah ratusan tahun. Petugas situs ini membantuku mencarikan angle andalan yang diambil oleh orang-orang photography jika memotret di sini. Harusnya menggunakan lensa wide supaya hasilnya lebih keren.

Kalau lihat foto sebelah, judulnya salah posisi. Harusnya Clay bergeser sedikit saja ke arah sinar matahari itu. Pasti lebih keren.

Setelah dirasa cukup, kami memutuskan untuk langsung menuju Kaliurang dan meninggalkan daerah Imogiri. Sayang sih, masih banyak yang ingin aku eksplore. Tapi kelihatannya timing  yang tepat sangat penting. Di hotel Kaliurang nanti mungkin anak-anak bisa berenang, mereka akan lebih enjoy. Nanti saja kita balik sini lagi yuk! Kita jalan-jalan sana sini. Iya, kita. Bareng kamu. *kedipkedip* (kode keras minta diajak balik ke Imogiri).

Cerita Kaliurangnya bersambung nanti ya, thanks sudah menyimak!



Monday, January 9, 2017

Puncak Suroloyo - Itinerary Yogya hari kedua part 3.

Puncak Suroloyo

Melihat foto seorang teman kuliah dulu, aku fix suka dengan pemandangan Suroloyo yang terlihat peaceful bagaikan pertapaan Tiongkok. Karena itu aku memasukan destinasi ini walaupun sadar waktunya tidak ideal, tidak pada saat sunrise dan sudah diseling Gereja Ayam setelah dari Punthuk Setumbu.

Setelah meniti bukit Punthuk Setumbu, lalu naik lagi ke Bukit Rhema, kaki ini lelah. Aku bertanya ke mas penjaga parkir Bukit Rhema tentang Puncak Suroloyo, apakah harus naik lagi?

"Oh nda, mobilnya bisa parkir sampai atas kok itu," jawabnya pasti.

What do you think?
Seperti secercah harapan. Ah, ringan kalau begitu. Oke kita ke sana.

Menurut GPS kita membutuhkan 30 menit dari Bukit Rhema (Magelang) ke Puncak Suroloyo. Kenyataannya tidak. Lagi-lagi nyasar ke arah yang hanya bisa dilalui motor atau berjalan kaki.

Dari sekian lama pencarian, kesimpulannya adalah, ikuti jalan melalui Kalibawang arah Sendangsono (Goa Maria), alias jalan berputar yang terjauh. Jangan berpikir mengambil jalan terdekat, dan sebaiknya jangan mengikuti papan petunjuk kecil yang ada di jalan. Kami melewati jalan itu, sempit, terjal, kiri kanan jurang, dan menegangkan kalau berpapasan dengan mobil atau truk (walaupun jarang).

Untuk bisa mencapai Puncak Soroloyo dapat memilih 2 jalur yaitu :
  • Dari Yogyakarta – Jalan Godean – Kenteng – Nanggulan – Kalibawang – Suroloyo.
  • Suroloyo karya Budi Mulyadi di saat sunrise
  • Dari arah Semarang atau Magelang : Magelang – Muntilan – Jalan Wates – Kalibawang – Suroloyo.
Retribusi: 5k per orang (2017), Parkir 5k per mobil.

Waktu terbaik : Sunrise (kira-kira pk. 5 - 6 pagi) dengan catatan jangan salah jalan. Ambil jalan raya yang besar saja, jangan jalan pintas.
dan sunset juga bisa lho!

Lihat foto sebelah? Bandingkan dengan foto pertama. Foto pertama kuambil pk. 10 lebih, kabut sudah hilang.

Dan memang, pendopo-pendopo ini adalah tempat pertapaan Raden Mas Rangsang, Putra Mahkota Kerajaan Mataram Islam.
Tempat parkir, Warung Kopi Suroloyo, dan pemandangan dari pendopo pertama.


Begitu sampai di parkiran yang luas, ternyata informasi mas penjaga parkir Bukit Rhema hanya PHP. Kita harus menaiki 286 tangga yang terjal untuk mencapai puncaknya. Kami mutuskan makan mie baso di warung saja. Harganya 10k per porsi dan enak ternyata! Dedei, anak bungsuku bilang lain kali dia mau ke Suroloyo lagi untuk makan baksonya. Kami juga makan keripik sayur pegagan, anti asam urat katanya - harganya 3k only per bungkus.

Cuaca pagi itu berawan. Benar-benar tak berniat naik tangga. Ibu penjual bakso bercerita, biasanya sejak jam 3 pagi pun sudah ada pengunjung. Wah pasti indah melihat citylight kota Yogyakarta dari sana. Banyak pengunjung menunggu matahari terbit, tambahnya lagi. Setelah dipikir lagi, sudah jauh-jauh ke sana moso iya menyerah karena takut sama tangga. Jadilah kami naik.

Ada tiga pendopo di Puncak Suroloyo. Dari sana kita dapat melihat Candi Borobudur (kecil banget), Pantai Glagah di Kulonprogo, Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro dan Sumbing. Sayangnya tak ada petugas pariwisata di sana yang menceritakan apapun kepada pengunjung.


Pemandangan dari ketinggian sekitar 1.019 mdpl

Pemandangan dari pendopo paling atas
Kesimpulannya, kami tidak menyesal naik ke atas. Pemandangan indah 360 derajat. Betah juga berlama-lama di sana kalau tidak ingat destinasi lainnya sudah menunggu. Lanjut!!

Karst Tubing - Wates

Kurang lebih satu jam perjalanan kami tiba di Wates. Permainan Bodyrafting Karst Tubing ini masih terbilang baru. Kami ke sana tanggal 31 Desember 2016 dan cukup menyenangkan, tidak berjubel seperti di Goa Pindul yang sekarang sudah terkenal. Per orang nya dibandrol 30k untuk track 1 dan 40k untuk track yang lebih panjang, sudah termasuk pemandu. Kami memilih track 1 karena tidak ada pilihan lain. Track 2 nya sedang ditutup karena arus cukup deras dan ada yang sedang diperbaiki.
Kami juga membayar extra 50rb untuk dokumentasi foto, dan it's worth. Foto-foto ini adalah hasil jepretan mereka. Satu kelompok satu juru foto dan bisa difoto sepuasnya.

Oh ya, harga per orang tersebut sudah termasuk snack di angkringan setelah selesai bermain air, dan juga termasuk transportasi mobil dari garis finish menuju tempat utama kembali.

Kami makan siang di sana sebelum mulai main air. Para pemandunya baik dan suka bercanda membuat kegiatan itu menjadi tambang seru. Awalnya saja terlihat menegangkan. Melihat aliran sungai cukup deras, dan suara-suara teriakan entah anak entah cewek. Aku takut harus melewati air terjun yang tinggi. Tapi ternyata tidak. Seru deh. Kurang lama rasanya, ingin mengulanginya lagi.

Ada sesi loncat dari atas batu ke sungai, tentu saja aku skip HAHAHA. Tapi kalau mau boleh berkali-kali kok. Clay juga loncat dua kali.

Oh ya, jangan lupa membawa handuk, dan peralatan mandi.
Menurutku sih tempat bilasnya sudah cukup memadai.

Setelah selesai main di sungai dan mandi, kami makan cemilan singkong rebus dan segelas teh hangat yang disediakan gratis satu orang satu voucher. Duduk-duduk ngopi sore di tepi sungai, segarnya... Puas!

Hari terakhir di tahun 2016 sudah kami lewati sejak matahari terbit dengan naik turun 3 bukit dan menyusuri sungai Konteng. Syukur kepada Tuhan. Sore itu kami beristirahat di hotel untuk memulihkan stamina supaya tidak tumbang. Leyeh-leyeh, nonton tv, update sosmed, tidur-tiduran.

Menjelang petang kami berangkat dari hotel, rencananya ingin ke Up Side Down World, tapi kami lewat Angkringan Lik Man di Jalan Wongsowirjan yang nampak sangat menggoda. Kami kangen dengan Kopi Jos dan nasi kucingnya yang nikmat. Sore itu cerah dan udaranya cukup sejuk. Matahari senja terakhir tahun 2016 di sebelah Barat Stasiun Tugu Pintu Barat mengucapkan selamat tinggal dengan meninggalkan langit kemerahan.

Sate ati ampela, sate telur puyuh, sate ayam, 5 nasi kucing, dan gorengan menemani Kopi Jos kami. Kopi di dalam gelas diseduh air panas dan dimasukan arang kemerahan ke dalamnya, jossssss..... langsung mendidih seketika. Asik melihatnya. Aku memotret-motret walaupun sedikit mengganggu para pelayan yang lalu lalang hendak menyuguhkan kopi. Aku memilih air jeruk saja, supaya lebih bervitamin. Sudah lama rasanya tidak minum segelas air jeruk seharga 4k. Yogya memang tak ada duanya.

Kami mengurungkan niat ke Upside Down, sudah mau malam tahun baru dan lalu lintas sudah semakin padat. Kami mengubah haluan ke Greenhost Boutique Hotel di Prawirotaman 2 untuk melihat pameran Papermoon Puppet Theater yang masih dibuka hingga tanggal 17 Januari. Kami harus menelan pil pahit ketika parkir dan diberitahu Satpam, pameran hari itu tutup lebih awal, pk. 16 tadi karena malam tahun baru. Sayangnya, malam itu adalah malam satu-satunya kami di Yogya. Malam berikutnya kami akan berada di Kaliurang.

Kalau kalian ke Yogya, boleh tuh cari tahu soal Papermoon Puppet Theater.

Sekitar pk. 19 kami sudah tiba di kamar hotel lagi. Hehehe.. Mata sudah berat lho! Malam tahun baru tapi pk. 20.30 kami sudah tidur! Suara kembang api bertalu-talu di tengah malam membangunkan aku sejenak, sekedar untuk menyapa teman-teman mengucapkan selamat tahun baru. Hanya aku yang bangun, semua anggota keluarga alias teman perjalananku tidur nyenyak kelelahan. Menjelang subuh kami akan bangun lagi mengejar matahari di hari yang baru.

Related Posts:

Itinerary Yogya hari kedua
Bukit Rhema, Gereja Ayam yang unik
Itinerary Yogya hari ketiga - Imogiri dan Kaliurang

Saturday, January 7, 2017

Bukit Rhema, Gereja Ayam yang unik.


Bukit Rhema aka Gereja Ayam


Sebenarnya melihat Borobudur dari kejauhan itu bukan hanya di Punthuk Setumbu. Di dekat sana ada Bukit Barede dan juga Purwosari Hill. Malahan shooting AADC dilakukan di Purwosari Hill bukan di Phuntuk Setumbu, katanya lho... Hanya saja aku tak mau mengambil resiko, tetap pilih Punthuk Setumbu walaupun dipenuhi pengunjung.

Jika kita meneruskan berjalan kaki di Punthuk Setumbu, kita akan tiba di Bukit Rhema, tapi kami baru sadar ketika tiba di kawasan Bukit Rhema dengan menggunakan mobil. Ada plang "Punthuk Setumbu" di dekat pintu masuk.

lantai di dalam bangunan
Satu hal lagi, kita bisa melihat Bukit Rhema atau Gereja Ayam dari kejauhan, dari Punthuk Setumbu. Tapi aku juga tak tahu di mana. Maafkan. Hehe.

Jangan terlalu percaya pada GPS untuk mencapai Bukit Rhema menggunakan mobil. Kami sempat blusukan ke gang-gang kecil, nyasar karena mencoba mencari tempat parkir yang terdekat. Kami sudah menemukan orang-orang yang parkir dan berjalan kaki di tanah licin menuju Bukit Rhema tapi tidak seperti yang ditunjukkan GPS. Makanya kami cari tempat lain. Untungnya ada seorang ibu bermotor yang membantu menunjukkan jalan.

"Ikuti saya, mari saya antar," ujar sang ibu bersemangat sambil disenyumi oleh tetangga-tetangganya.

Ibu baik hati ini memandu kami melewati sebuah sekolah dan belok kiri, sekolah yang tadi kami lewati tapi kami tak tahu bahwa itu sekolah. Kami juga melewati tempat parkir Bukit Barede. Sepi di sana. Mungkin pemandangannya tidak sebagus di tempat lain ya?

Sampai sebuah pertigaan, kami melihat plang Bukit Rhema dan Purwosari Hill. Sang ibu berhenti dan mempersilakan kami meneruskan perjalanan.

"Kalau ditawari ojeg di sana, jangan mau. Mahal. 60rb. Jangan mau," katanya. Lucu juga, bukannya mendukung mata pencaharian warga sekitarnya malah berpihak kepada wisatawan. Tapi nasehat ibu harus kita dengar bukan? Nanti kualat lho kalau dilawan.

Refleksi dari atap ruangan dan sendal jepit andalan.
Retribusi masuk Bukit Rhema 10k per orang. Kita masuk ke dalam bangunan dan sudah disediakan tempat duduk d sana untuk menunggu panggilan. Ada juga sebuah tayangan sejarah mengenai bangunan tersebut. Bukan ayam, tapi burung merpati. Tetap saja nggak mirip ayam maupun merpati. Mungkin anak tetangga. (Nggak lucu!)

Kami mengelilingi ruangan sementara menunggu panggilan untuk naik ke lantai atas (puncak kepala burung). Ada berbagai ruangan di arah bawah, temboknya terbuat dari semen. Tempat ini belum selesai dibuat, tampak masih ada ruangan yang sedang dalam tahap penyelesaian. Entahlah. Katanya tempat ini bertujuan untuk menjadi rumah doa. Yang jelas, aku pribadi sih kurang merasa sreg untuk berdoa di sana.

Akhirnya kami meninggalkan tempat itu tanpa menunggu panggilan. Masih banyak tempat lain yang ingin kami kunjungi. Kalaupun ke atas untuk berfoto, terlalu banyak orang lain lalu lalang. Hasil fotonya juga nanti gak bagus.

Dari Bukit Rhema kami melanjutkan petualangan kami ke Puncak Suroloyo.


Related Posts:


3 Tips menjelajah alam - Itinerary Yogya hari kedua

Kalau malam sebelumnya hujan hingga pk. 20 lalu berhenti, maka hampir bisa dipastikan kita akan mendapatkan kabut bagus di pagi harinya. Walaupun tidak selalu matahari terbit berpihak kepada kita, asalkan terangnya muncul di antara samudra kabut, pemandangan sudah cukup menyenangkan.

Untuk mendapatkan liburan yang maksimal ketika mengunjungi objek wisata alam kita harus memperhatikan beberapa hal:


1. Sesuaikan itinerary dengan cuaca hari itu. Periksalah ramalan cuaca. Manfaatkan hari-hari cerah untuk pergi ke alam dan berkuliner, shopping, ngopi di mall ketika hujan. Selain itu, pergilah sepagi mungkin karena biasanya hujan baru hadir di siang atau sore hari. Pagi itu indah karena kita bisa mendapatkan kabut dan sunrise.

2. Cari tahu waktu yang tepat untuk pergi ke suatu tempat. Tempat-tempat tertentu akan indah maksimal ketika sunrise atau sunset. Kita mendapatkan pancaran sinar matahari di dalam goa justru ketika tengah hari (jika lubangnya dari atas). Berfoto underwater di umbul sebaiknya agak siang, di atas pk. 9 pagi supaya tidak terlalu dingin dan sudah cukup terang. Jangan kehilangan moment ketika dia sedang cantik-cantiknya karena kecantikan bisa sangat menakjubkan.

3. Waktu yang pas untuk berfoto outdoor di pantai, sawah, danau dll adalah setelah subuh hingga 09.00 atau sore setelah pk 15 agar cahaya mataharinya masih kekuningan dan soft. 

Itinerary hari ke-dua.

03.15     Bangun
03.40     Berangkat ke Punthuk Setumbu
05.00     Tiba di Punthuk Setumbu 
07.00     Lanjut ke Bukit Rhema
09.00     Berangkat ke Puncak Suroloyo
09.30     Tiba di Suroloyo
10.30     Berangkat ke Karst Tubing di Wates (dekat hotel)
11.30     Tiba di Karst Tubing, makan siang dan main body rafting
14.00     Puas bermain dan bersantai di tepi Sungai Konteng, kembali ke hotel untuk istirahat.
14.30     Tidur siang, nonton tv, leyeh-leyeh, update sosmed.
16.00     Jalan-jalan sore ke Angkringan Likman dan sekitarnya
19.00     Makan malam Gudeg Yu Djum

Kalau lihat itinerary kami, malam kami istirahat lebih cepat dan nggak keluyuran demi mengejar sunrise lagi keesokan harinya. Focus our time on dusk time! Strategi kami adalah, tidur di mobil dan menyetir bergantian. Hotel hanya untuk singgah, mandi dan tidur sebentar. Karena itu kami tinggal di hotel tanpa bintang dan tak masalah tanpa breakfast. Memang tak sempat breakfast di hotel. Hehe.

Kami tidak ingin melewatkan pagi pertama kami ke Yogya. Punthuk Setumbu sudah menjadi cita-cita dan inilah saat mewujudkannya. Mulanya aku berpikir, Punthuk Setumbu harus langsung hari pertama supaya masih punya kesempatan mengulang kalau matahari enggan berjumpa. 

Punthuk Setumbu



Biar foto yang berbicara.

Kalau kalian ke sana terlalu siang, yang terlihat adalah hamparan pemandangan hijau dan Borobudur dari kejauhan. Tanpa keajaiban tambahan. Silakan memilih tapi jangan keluar kata-kata : "Ah di sana biasa aja, ga ada apa-apa." (galak ya?)

No pain no gain, tanpa bangun subuh dan tiba di sana sebelum matahari terbenam. Tanpa berolahraga pagi, berjalan setapak demi setapak menaiki bukit. Kita tidak akan mendapatkan moment seperti ini.


Punthuk Setumbu adalah sebuah bukit setinggi kurang lebih 400 meter dpl yang terletak di gugusan Pegunungan Menoreh. Tiket masuk per orang 15k, parkir 5k. Pakai sendal jepit oke, tapi tanahnya cukup lengket dan menempel di alas kaki, yang sabar ya. Tersedia toilet yang cukup memadai untuk cuci kaki kok.

Untuk mencapai bukit ini sebenarnya tidak terlalu sulit. Dari depan Taman Wisata Candi Borobudur silahkan melaju menuju Hotel Manohara, kemudian lurus terus ke arah perbukitan Menoreh. Tak jauh dari situ ada pertigaan dan petunjuk arah bertuliskan Borobudur Nirvana Sunrise. Silahkan belok kanan mengikuti petunjuk arah hingga sampai di tempat parkir Bukit Punthuk Setumbu. (info njogja)

Waktu yang terbaik mengunjugi Punthuk Setumbu sebenarnya di bulan Juni-Juli karena daerah itu sedang musim kemarau dan matahari pagi lebih sering muncul dengan cerah. Posisi terbitnya pun lebih indah, di antara Gunung Merbabu dan Merapi. Begitulah yang aku baca. Yuk nanti kita pergi ke sana lagi untuk membuktikannya!

Kita lanjutkan cerita tentang objek wisata lainnya di postingan : Bukit Rhema, Gereja Ayam yang unik

Related Posts:

Thursday, January 5, 2017

Itinerary Yogyakarta hari pertama

Bagiku Yogyakarta adalah destinasi yang tidak ada matinya. Yogyakarta punya alam yang sangat indah, entah itu gunung maupun pantai, air terjun, sawah maupun sungai. Kebudayaan dan perilaku masyarakatnya pun menyenangkan, sopan, ramah dan juga baik.hal seni pun mereka punya banyak kreasi. Dan buat yang suka kuliner, aku rasa Yogya asik-asik aja untuk dieksplorasi.

Aku mengakhiri tahun 2016 di kota ini, 4 hari 3 malam.
Rencananya sih berangkat pk. 3 malam dan sampai Kebumen pk. 10 pagi, apa daya ketiduran. Alarm memilih untuk tertidur daripada membangunkan kami. Jadilah jadwal hari itu harus menyesuaikan.

Itinerary 1
5.30 - 13.00   Perjalanan Bandung - Kebumen
                      Makan siang di Pringsewu Sumpyuh.
13.30 - 15.00 Benteng Van der Wijck - Kebumen
15.00 - 17.50 Pantai Parangkusumo untuk melihat sunset.
18.30             Sate Klathak Pak Pong
19.30             Nasi goreng Beringharjo (non halal)
21.00             Cek in Hotel di Wates.

Ini adalah kali kedua kami berangkat ke Yogya menggunakan mobil. Butuh waktu kurang lebih 10 jam. Kali ini kami menyiasatinya dengan menyelipkan 1 destinasi Kebumen dan ternyata hasilnya lebih menyenangkan. Less boring. Waktu tempuh sama tapi tidak terlalu terasa lama.

Dari rumah aku sudah membawakan bekal nasi untuk sarapan dan brunch di jalan. Sebenarnya berhenti sejenak di Rumah Makan hanya untuk minum teh dan tahu mendoan saja sekalian mengunjungi toilet yang dijamin bersih menurut spanduk Pringsewu. Sepanjang puluhan kilometer kami terus dijejali iklan spanduk Pringsewu, semacam cuci otak.

Rumah makan ini unik sih, berbeda dengan rumah makan lain. Dari parkir dan tempatnya yang luas, rumah makan ini dibuat untuk menampung rombongan. Mereka menyediakan berbagai atraksi dan kegiatan, yang membuat kami geli. Ada sulap, terapi ikan, kursi pijat, photobooth dan juga box kaca untuk trick eye. Seorang petugas mendekati meja makan satu persatu dan menanyakan apakah ada yang ulang tahun di bulan ini. Ternyata ada. Diputarlah lagu Selamat Ulang Tahun lengkap dengan MC dan microphonenya. HAHA. Dinyanyikan dan dirayakan. Yah buat lucu-lucuan lah ya.







 Dari Pringsewu kami lanjut ke Benteng Van der Wijck di Kebumen, tepatnya di Gombong. Benteng ini adalah benteng pertahanan Hindia-Belanda yang dibangun sekitar abad ke 19. Nama Van Der Wijck diambil dari nama komandan pada saat itu berhasil membungkam perlawanan rakyat Aceh. Pada awal didirikan, benteng ini diberi nama Fort Cochius (Benteng Cochius) dari nama salah seorang Jenderal Belanda Frans David Cochius (1787-1876).

Kompleks bangunan di sekitar Benteng Van der Wicjk adalah barak militer yang awalnya digunakan untuk meredam kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro.  Benteng ini didirikan atas prakarsa Jenderal Van den Bosch. Pada jaman penjajahan Jepang, kompleks benteng ini menjadi tempat pelatihan prajurit PETA.

Sekarang Benteng ini dijadikan objek wisata di kota Gombong. Tiket per orang 25k sudah termasuk naik kereta mengitari benteng dan juga naik kereta mini di atas benteng. Aneh bukan? Naik kereta mini di atap benteng. Pemandangan biasa saja tapi kapan lagi bisa mengitari atap dengan kereta? Pilihan lain, berenang. Kolamnya cukup bersih kelihatannya. Pengunjung juga bisa melihat-lihat ruangan-ruangan dalam benteng. Ruangan-ruangan itu dulunya berfungsi sebagai barak militer, pos jaga, dan kantor. Ada pula ruangan yang khusus berisi foto-foto benteng jaman dulu, sebelum dipugar, dan sesudah dipugar. 

Kalau aku sih, foto-foto. Lumayan photogenic tempatnya. 











Kebumen menuju Yogya membutuhkan waktu 2.5 jam, sama jaraknya jika kita langsung menuju Pantai Parangkusumo dan Parangtritis. Sebelum berangkat aku sudah memeriksa jam sunset di Yogya kira-kira pk. 17.58. Waktu yang cukup mepet tapi masih bisa mengejar sunset daripada langsung check in ke hotel. Karena itu kami memutuskan skip hotel dan kejar sunset dengan kecepatan seribu bayangan. Yatta!! 


dan kami disambut pelangi!
Jalan melalui Daendels menyusuri pantai dan lurus. Awalnya berlubang-lubang tapi masih okelah. Aku mendapat giliran menyetir dan tak mau kehilangan moment sunset. Nampaknya para penumpang mobil gagal tidur dengan tenang. Katanya mau tidur, aku setirin malah gak bisa tidur. Well, aku minta maaf beberapa kali karena mobil gedubrakan masuk ke jalan berlubang, bahkan sempat ngepot-ngepot karena hampir menabrak kijang yang hendak memotong jalan. Ah sudahlah. HAHA.
Pantai Parangkusumo melewati Gumuk Pasir Parangtritis, ah kurang menarik. tapi mungkin suatu hari nanti aku akan ke sana untuk coba memotret. Dulu Papa pernah memotret gumuk pasir Parangtritis terkesan seperti gurun pasir, mengesankan sekali. Entah mengapa objek wisata itu terlihat tidak cukup cantik untuk difoto saat itu. 

Inilah kecantikan matahari terbenam di Pantai Parangkusumo. Terimakasih Tuhan untuk sambutan kedatangan kami di Yogya! Pelangi cantik sebelum beranjak pergi meninggalkan ciptaanNya yang indah.

Aku kira kami bisa makan malam di Parangtritis, seafood di pinggir pantai. Yang aku baca, Parangtritis cukup ramai dikunjungi anak-anak nongkrong di akhir pekan. Aku membayangkan seperti Ancol di Jakarta.  Ternyata tidak, saudara-saudara. Gelap, ada satu jajar kaki lima. Sepertinya not recommended. Kalau ada cerita pembaca mengenai keistimewaan Parangtritis dan Gumuk Pasir, monggo dibagikan di kolom komentar lho ya. 



Pantai Parangkusumo Kulonprogo


Kincir angin

Akhirnya kami memutuskan meluncur ke Yogya sambil mampir di Sate Klathak Pak Pong di Jl. Imogiri Timur KM. 10, Bantul. No. Telp 0813-2827-3551


Sebenarnya ada dua pilihan Sate Klathak, dua-duanya berdekatan. Pak Pong yang terkenal atau Sate Klathak Pak Bari, tempat shootingnya AADC. Dan ternyata keduanya penuh. Parkir cukup sulit dan yang mengenaskan adalah antrinya 1.5 jam, dua-duanya! Hanya untuk sate kambing muda yang ditusuk di jeruji besi. Oh no. 



Sate Klathak Pak Bari AADC

Tanpa berpikir panjang kami memutuskan untuk mencari tempat makan di daerah kota saja. Perjalanan kami tidak perlu diperpanjang dengan menunggu hadirnya sate kambing muda yang konon empuk dan enak. Tak apalah kalau belum jodoh. Masih ada pilihan lain yang memang sudah ada dalam list kuliner kami: Nasi Goreng Beringharjo. Oke cus!


Nasi Goreng Babi

BK alias Babi Kecap

Nasi Goreng Beringharjo terletak di Jalan Mayor Suryotomo No. 7. Tidak jauh dari daerah Malioboro dan sekitarnya. Harganya terjangkau, porsinya banyak. Kita bisa memilih ayam atau babi, ada juga menu Babi Kecap. 3 porsi nasi goreng, 1 BK, 1 nasi putih dan 3 jeruk dihargai 59ribu. Terbayar sudah kelelahan mencari makan malam saat itu. Oh ya, pk. 21 sudah habis lho nasi gorengnya. Jangan terlalu malam kalau mau coba ke sana. 

Hari pertama kami sudah diselesaikan dengan sukses. Kami check in dan langsung beristirahat karena hari kedua Phuntuk Setumbu sudah menunggu. Pk. 4 pagi kami sudah harus bergegas lagi.

Related Posts:



Saturday, October 1, 2016

Menyiasati Hujan di Belitung, hari ketiga

Setiap membuat rencana perjalanan, aku selalu memeriksa ramalan cuaca lewat internet. Apalagi berlibur ke pantai, wajib mengaturnya dengan baik termasuk bekerjasama dengan alam dan cuaca. Biasanya kita bisa mencari info, kapan waktu terbaik untuk berkunjung ke suatu pulau dan kapan waktu yang sebaiknya dihindari karena gelombang tinggi.


Hari ke-tiga di Belitung diramalkan hujan deras. Kami memutuskan untuk main ke dalam kota saja, ke daerah Belitung Timur - desa Laskar Pelangi.

Keluarga kami mengenal Laskar Pelangi lewat drama musikal yang mereka mainkan di Gedung Teater Jakarta pada tahun 2011. Anak-anak Cowboy Junior masih kecil-kecil. Aku sudah memberikan pengarahan dahulu sebelumnya kepada anggota rombongan, don't expect too much on today's trip. Hehehe.. Sekolah Dasar Muhammadiyah yang akan kami kunjungi pun hanya replika, bukan tempat asli di mana Lintang, Ikal dan Ibu Muslimah bertemu dahulu.

1. SD Laskar Pelangi



Gerimis tak kunjung henti mengawal perjalanan kami melewati daerah Badau menuju SD Laskar Pelangi selama 1 jam 30 menit kurang lebih. Jarak dari hotel kami ke sana kira-kira 71 km melalui jalan yang besar dan mulus. Bebas macet.

Seperti biasa, kami singgah di beberapa rumah penduduk untuk mengambil foto, sebelum tiba di tempat tujuan.

Semesta cukup bersahabat. Gerimis sempat berhenti begitu kami tiba di sana di SD Muhammadiyah.

We were doing fun over there. Melihat ada Bendera Merah Putih yang berkibar, kami jadi kangen masa-masa upacara. Ini jarang-jarang moment, hormat bendera sekeluarga. Mumpung sepi dan tidak ada siapa-siapa kecuali kami di sana. Kami berbuat 'onar' dan tertawa terbahak-bahak bersama.

Dikenakan tarif masuk ke dalam area replika SD Laskar Pelangi ini, tapi maaf aku lupa berapa. Tapi aku jamin tidak mahal kok. Tidak sampai 10k. Di sebelah bangunan SD ini juga ada tempat membeli souvenir dan pameran lukisan. Ada sepeda ontel yang dipajang dan kita bisa difoto di sana menggunakan topi kerucut. It's quite fun.



Di sebrang SD Laskar Pelangi ini ada tempat wisata baru, "Rumah Keong". Kami nggak ke sana sih, langit kelabu dan gerimis terus. Difoto di sana juga kurang bagus kalau tidak didukung langit biru. Aku pinjam fotonya saja ya dari internet ya, buat referensi kamu.


by Arbie Haryono


2. Museum Kata - Andrea Hirata

Sudah satu paket, mengunjungi SD Laskar Pelangi sekaligus mengunjungi Museum penulisnya, Andrea Hirata. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 5 menit. Sayangnya saat kami ke sana museum Kata sedang direnovasi. Kami tidak bisa masuk. Padahal aku ingin sekali melihat-lihat ke dalam dan membaca kata-kata karya sang penulis.




Satu tips yang mungkin berguna,
pakailah baju polos jika kamu berkunjung ke daerah Belitung Timur. Museum ini berwarna warni, kamu akan tampak selaras jika outfitnya tidak terlalu ramai. Kamu juga akan tampak menarik dengan baju polos berwarna cerah jika berfoto di bangunan SD yang hampir seperti gubuk itu. Kalau niat, ajak semua peserta yang bareng denganmu untuk membawa/memakai seragam sekolah dulu. Pasti seru.
 


Kami masih bergelut dengan gerimis saat itu dan hari sudah mulai menuju tengah hari. Dari Museum Kata kita bisa berjalan kaki ke Kampoeng Ahok, hanya 5 menit! Gak ada apa-apa sih di sana, tapi ada tukang gorengan yang jual molen. Enak juga.

3. Kampoeng Ahok 



by Theresia


Di seberang tulisan KAMPUNG AHOK ini ada rumah Ahok. Mamahnya ko Ahok masih tinggal di situ. Tempat ini dibuka untuk umum, siapa saja boleh masuk ke pekarangannya.


by Novita Sari
Di sebelah kanan rumah ini ada Sanggar Batik de Simpor, sebuah toko yang menjual batik dan oleh-oleh Belitung lainnya. Batiknya bagus sih, modern gitu warnanya cerah. Tapi ya mahal, apalagi batik tulisnya. Aku cuma lihat-lihat saja. :D


Tempatnya kurang terawat juga. Gelap dan sederhana, cukup berantakan. Ada kue coklat Mama Ahok lho. Di antara sanggar ini dan rumah Ahok, ada kandang keledai lho. Baru kali ini kami melihat keledai sungguhan.

4. Makan siang di RM. Fega

Kami tidak menghabiskan banyak waktu di Kampoeng Ahok, berbekal pisang molen untuk mengganjal perut yang sudah mulai lapar, kami lanjut makan siang. Ada dua Rumah Makan yang recommended di Belitung Timur. Yang pertama adalah Rumah Makan Ayung B.B (Sinar Laut) di depan Pantai Serdang. Tempat makannya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tapi masakannya juara. Ini rekomendasi dari Pak Anwar, supir yang mengantar kami selama di Belitung. Boleh deh dilihat reviewsnya di google map.

Kami memilih opsi kedua, RM Fega karena letaknya di tepi danau. Kami ingin menikmati semua aspek di Pulau Belitung, sungai, pantai, kota, hutan dan juga danau.

Ini satu-satunya bon yang masih tersisa. :) Makan ber-8 di RM Fega. Nasinya cukup satu bakul. Yah dibilang murah juga nggak sih ya. Tapi cukup foya-foya. Banyak dagingnya.

Selama di Belitung, supir kami tidak makan bareng kami. Dia sudah mendapat jatah dari setiap Rumah Makan yang kami datangi. Kita cukup pikirkan perut sendiri. Oh ya aku lupa, selain itu, kami berlibur di saat bulan puasa. Pantas saja setiap makan siang, kami tidak menawarkan makan kepada Pak Anwar. Tapi betul, beberapa kali kami ke rumah makan saat makan malam, Pak Anwar bilang dia sudah punya jatah sendiri.

Hujan angin benar-benar deras ketika kami berada di Rumah Makan Fega. Kami tidak mendapat meja makan dengan pemandangan danau karena tidak memungkinkan. Terlalu banyak cipratan air. Ada lagi tempat makan yang cukup aman dari cipratan hujan, tapi sudah dibooking rombongan. Barangkali itu salah satu keuntungan ikut tour, sudah ada yang booking tempat terbaik setiap kali makan.


dari resensikecilku.

Hujan besar cukup menjadi kendala buat kami berkeliling dan menikmati tempat ini. Mengurangi keindahan dan mood berfoto. Kalau ke Belitung lagi mungkin kami akan coba opsi pertama, RM. Ayung B.B. Tempatnya memang lebih bagus di Fega, tapi siapa tahu soal rasa dia lebih juara. Ketika hujan sudah lebih jinak, kamipun meninggalkan Fega dan berkeliling kota Manggar.



by Rendi Abdul
5. Manggar -Kota 1001 Warung Kopi

Belitung Timur tempo doeloe pernah jaya. Saat PN Timah di era orde lama hingga orde baru giat menambang Timah dan kota Manggar adalah pusatnya. Warung kopi menjadi tempat sosialisasi dan diskusi antara para buruh timah dengan pegawai pemerintahan, pekerja perkebunan dan para pedagang dari berbagai desa selepas bekerja. Terbayang, nongkrong di Warung Kopi mungkin adalah hiburan satu-satunya di kala itu.

Kami mencari Warung Kopi Atet saat itu, tapi tutup. Sayang sekali, padahal aku penasaran dengan Warung Kopi Atet karena katanya Basuri Tjahaya Purnama, Bupati Belitung Timur pun suka duduk ngopi bersama rakyat di sana. Bapak Mickey Mouse blusukan ke pasar juga konon suka mampir ke sana kalau sedang mudik.

Saat kami berkunjung di bulan puasa, kota Manggar sepi bagaikan kota mati. Banyak warung kopi di mana mana tapi tutup. Lalu kami ditawarkan Warung Kopi Milenium tapi akhirnya kami lewatkan. Gerimis dan sepinya kota Manggar membuat kami kurang bersemangat.


6. Pantai Serdang

Pantai Serdang

Salah satu pantai tempat kita melihat Sunrise adalah Pantai Serdang. Di pantai yang sama, orang-orang mengabadikan Gerhana Matahari Total tanggal 9 Maret 2016 lalu. Pantainya sepi, cukup bersih tapi tak ada apa-apa di sana. Mungkin karena bulan puasa. Agak prihatin melihat keadaan di Belitung Timur. Perekonomian terlihat lesu, banyak orang-orang tua yang duduk-duduk di depan rumah, jalan-jalan begitu sepi, toko dan warung kopi tutup. Semoga hal ini hanyalah karena fenomena bulan puasa saja.


Pantai Serdang

Kami tak lama di sana. Pantai dengan langit kelabu dan tanpa ombak ternyata tidak menarik. Jaketku basah karena memaksakan diri ke pantai di tengah gerimis tak henti-hentinya mengguyur Belitung Timur sehabis hujan deras.

7. Vihara Dewi Kwan Im
Salah satu tempat yang banyak dimasukan ke dalam itinerari Manggar adalah Vihara Dewi Kwan Im. 30 menit jaraknya dari Pantai Serdang, ke daerah Burung Mandi, searah dengan perjalanan pulang. Kami menumpang ke kamar kecil di sana. Bersih sekali!


by Katerina


Vihara ini adalah Vihara tertua di sana, didirikan di sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pepohonan dan sejuk. 



Dari Vihara ini, ada pantai lain yang bisa dikunjungi tanpa makan waktu lama. Menurut supir kami, pantai ini adalah miliki keluarga Ahok. Pantai Bukit Batu namanya. Setiap pengunjung yang ke sana harus membayar Rp.5000,- per orang. Sayang sekali lagi sayang, tutup juga! Ada gerbang menuju ke sana dan kami tidak bisa lewat.

Keluarga Ahok memiliki 4 pulau di Belitung. Asik bener... 


Pantai Bukit Batu
Dekat dari Pantai Bukit Batu, ada pantai lagi namanya Pantai Burung Mandi. Temanku bilang pantai ini bagus. Tapi kami sudah kehilangan semangat saat itu, mendung dan hujan masih tak henti mengiring perjalanan kami. Kami simpan saja untuk lain kali. Ayo buat kalian yang ke Manggar, masukan itu semua ke dalam itinerari. 


Pantai Burung Mandi

Oh ya, ada satu tempat lagi yang kami kunjungi tapi tidak kami jabanin. Open Pit, Kelapa Kampit. Hampir pk.17 ketika kami sampai ke tempat parkir di kaki bukit, mendung dan hampir gelap. Menurut informasi, kita harus naik ke atas bukit selama 15 menit dari tempat parkir berjalan kaki untuk bisa tiba di lokasi. Yah, sudah mendung dan gelap, sepertinya belum jodoh.
Open Pit
Hari sudah gelap ketika kami tiba di pinggir kota Tanjung Pandan. Waktunya KULINER.

8. Pempek Mama Rio
Ngemil dulu pempek Mama Rio, lumayan terkenal nih. Rekomendasi dari temenku yang suka banget dengan pempek ini. Di tempat ini ada juga kepiting isi, rasanya sama dengan kepiting Adena. 
by Elsasisters

9. Juhi Bakar

Letaknya tidak jauh dari tempat Pempek Mama Rio. Sudah lama sekali gak makan juhi bakar, jadi rasanya istimewa. Juhi ini dibakar lalu dipukul-pukul dengan memakai palu di atas balok kayu, supaya tidak alot katanya. Harga Juhinya bervariasi tergantung ukuran, dikasih saus cocolan juga. Coba deh! 



10. Rumah Makan Timpo Duluk
Sehari sebelumnya kami sudah mencoba ke rumah makan ini, tapi belum beruntung. Sebaiknya kita reservasi dulu kalau mau makan di Timpo Duluk, supaya bisa duduk di ruangan utama. Kami duduk di ruangan belakang karena tidak reservasi. Tak apalah, sudah bagus kebagian tempat. Rumah Makan ini sepertinya tempat yang wajib dikunjungi di Belitung. Tempatnya menarik karena dekorasi dan penyajiannya menggunakan barang-barang jadul. Kita memang diajak untuk kembali ke Belitong jaman doeloe. Di buku menu dan meja makannya pun kita bisa membaca cerita tentang asal muasal rumah makan ini. Entah dongeng entah nyata.

Belitong punya cara makan khas tersendiri, namanya makan bedulang. Tradisi makan bedulang ini mencerminkan kebersamaan. Arti bedulang itu adalah makan menggunakan dulang atau nampan seng yang besar berbentuk bundar. Dulang ini sudah ada dari tahun 1950 lho.
Cara makannya pun tidak sembarangan. Satu dulang dikelilingi empat orang yang duduk bersila dan makan bersama. Lauk pauknya apa saja? Tentu saja makanan khas Belitong salah satunya adalah gangan ikan (ikan kuah kuning). Dulang ditutup dengan tudung saji yang disebut mentudong. Nasi dan air minum disajikan terpisah. Uniknya lagi, menurut tradisi, ada seorang "mak panggong" yang melayani tata cara makan bedulang ini. Ini bisa dikatakan fine-dining tempo dulu ya.

Hari mendung dan cuaca buruk ini sudah kami manfaatkan semaksimal mungkin. Cukup produktif dalam mengenal Belitong lebih dekat. Ini adalah cara terbaik yang kami temukan untuk menyiasati wisata Belitung di kala hujan. Semoga bisa menjadi referensi yang berguna.

Catatan Kaki:
Rumah Makan Ayung
Jl. Pantai Serdang
Manggar, Belitung Timur
Buka pk. 10AM - 9PM.

Rumah Makan Fega
Jl. Jendral Sudirman,
Manggar, Belitung Timur
Ph. (0719)91114
Buka pk. 9AM - 5PM

Warung Kopi Atet

Jl. Jendral Sudirman 187
Manggar, Belitung Timur

Pempek Mama Rio
Kampung Damai
Tanjung Pandan

Juhi Bakar
Jl. Mat Yasin 49,
Belitung 33416
ph. +628192340770

Rumah Makan Timpo Duluk
Jl. Lettu Mad Daud 22
Tanjung Pandan
Reservasi : (0719) 9223242


Related Posts:

Sarapan Pagi di Belitung
Batu Mentas, wisata tersembunyi di Tanjung Pandan
Liburan Impian, Belitung Hari Pertama
Islands hopping di Belitung, hari kedua.
Lebih dekat dengan penduduk Belitung
Pantai Tanjung Pendam, apa yang kau pendam?