Tuesday, January 10, 2017

Itinerary Yogya hari ketiga - Imogiri dan Kaliurang

"Bangun, udah jam setengah lima," dengan mata yang masih sepet dan badan yang lelah aku membangunkan bapaknya anak-anak.

"Mau liat sunrise atau tidur aja nih?" tanyaku mulai plin plan ingin meneruskan tidur.

"Tidur aja," jawabnya.

Ya sudah aku juga ikut tidur lagi. Tapi hati gak tenang, jadi ya aku bangun lagi. Plin plan memang. Fix.

"Emangnya gak sayang, tahun baru gini pasti di sana sepi karena semalam sudah pada begadang, bangunlah ya," aku mencoba menyulut motivasi, bukan buat dia saja tapi untukku juga.

"Hayu," akhirnya aku mendapat jawaban itu. Aku bergegas packing di dalam kegelapan. Kami harus sekalian check out agar tidak perlu balik lagi ke kota Yogya. Malam ini kami menginap di kaki gunung Merapi di Kaliurang.

Hari ini termasuk hari yang kutunggu-tunggu, mungkin melebihi aku menunggu Punthuk Setumbu. Daerah Imogiri punya lebih banyak destinasi yang cantik untuk dieksplorasi. Aku bahkan sudah mencoba mencari penginapan di daerah sini instead of di kota Yogya tapi fully booked.

Ini itinerary hari ketiga di daerah Bantul, Imogiri. Yang kurencanakan berbeda dengan realisasi. Idealnya berangkat pk. 4 pagi.

Pk. 4.30      Bangun, beres-beres dan check out.
Pk. 5.15      Berangkat
Pk. 6.15      Jurang Tembelan
Pk. 7.30      Kebun Buah Mangunan
pk. 9.00      Air terjun Srigethuk
pk. 11.00    Berangkat ke Kaliurang
pk. 13.00    Check in di Griya Persada Convention Hotel Kaliurang
pk. 13.30    Makan di Yu Djum (lagi) Kaliurang
pk. 14.30    Santai di Hotel, istirahat
pk. 17.00    Kopi darat dengan someone special.
pk. 19.00    Merakyat di depan Taman Kaliurang, Streetfood dan menikmati hiburan lokal.
pk. 21.00    di Hotel, bersiap-siap sunrise lavatour Merapi.

Terlihat santai ya? Actually, we skipped several destinations dan memutuskan untuk lebih take it easy daripada dikejar waktu. Iya, akhirnya aku menyimpan lagi beberapa 'kecengan' destinasi untuk kuidamkan berbulan-bulan, menunggu saatnya bisa mewujudkannya. Hahaha.. Yuk cerita.


Jurang Tembelan

Iya. Suka banget tempat ini karena gardu pandangnya cakep berbentuk perahu. Di Yogya ini cukup banyak objek wisata seperti ini, pemandangan jurang, kabut dengan gardu pandang dari ketinggian. Di daerah Dlingo sendiri ada beberapa, seperti Bukit Mojo (Sunset) Bukit Kediwung (sunrise), Kebun buah Mangunan, Menurutku Jurang Tembelan ini paling cantik bukan hanya karena gardu pandangnya tapi juga karena Sungai Oya yang melintas lembah perbukitan. Sebenarnya Jurang Tembelan ini adalah tempat melihat sunset, sama hal nya dengan Puncak Becici. Mungkin suatu hari nanti aku akan buat itinerary dengan Jurang Tembelan di waktu sunset. Indah banget. Parkir di sana dikelola warga. Ada beberapa warung makan untuk ngopi dan sarapan pagi. Belum dikenakan retribusi, tapi ada kotak untuk menyumbang serelanya.

Jurang Tembelan ini masih relatif sepi karena belum lama dipopulerkan. Itu salah satu sebab mengapa asik banget di sana! Sepi, orangnya baik-baik, antrinya gak lama.
I am ready to fly!! Up very high!
Caranya ke sana? Ikuti saja arah Kebun buah Mangunan, sebelum belok ke parkirannya ada papan petunjuk. Jurang Tembelan dekat sekali jaraknya dari sana.

Aku sih betah banget. Anak-anak ya biasa aja. Mereka makan bersama bapaknya sementara aku keluyuran memotret-motret orang-orang tak dikenal, naik sana, naik sini. Hihihi.. Setelah puas memotret barulah aku bergabung dan mencoba soto ayam dan kelapa muda. ENAK BANGET! Sampai aku puji lho mbak penjual sotonya. Segar sotonya, kelapanya muda, lembut dan manis. Asli deh enak banget. Kelapa mudanya dihargai 8k, sotonya 10k. Ugh makin cinta.

Di Jurang Tembelan itu, kami mendapat 'sabda alam' hahaha... urgent call.. telolet teloleeet... tapi toilet di sana gak ada air gegara ada yang mandi dan menghabiskan airnya! Untungnya seorang bapak dengan baik hati menawarkan kami berkunjung ke rumah.

"Di rumah saya aja, mau mandi boleh, mau nginep boleh," katanya sambil menenteng sekeresek gorengan. Kami menyambut tawarannya dengan senang hati.

Mengobrol dengan warga lokal adalah pengalaman yang menarik. Kita bukan hanya jadi penonton dan pengunjung saja, tapi berusaha untuk bisa mengenal tempat tersebut lebih dalam. Ini menciptakan keterikatan batin antara kita dan tempat itu, iya gak sih?

Bapak bertelanjang kaki itu kami undang masuk ke dalam mobil kami. Beliau merasa sungkan duduk di depan, mau duduk di paling belakang. Kotor, katanya. Ah tak mengapa, cuma kakinya saja kok yang tidak memakai alas, badannya terlihat bersih.
Aku bertanya padanya dalam perjalanan, "Pak di kebun buah Mangunan ada apa aja?"
"Ya tergantung musim. Banyak. Pohon rambutan sekarang lagi bagus bagus, durian, yang pohon pohon lainnya udah pada meninggal semua," 
Ini entah aku salah dengar atau emang dia yang lucu. Geli mendengarnya. 

Kebun buah mangunan
Beberapa ratus meter kemudian kami tiba di rumahnya. Masih sangat baru, dibangun oleh anaknya yang bekerja di kota. Beliau tinggal sendiri, aku kurang jelas di mana keluarganya karena aku langsung menuju kamar kecil ketika Hendra ngobrol dengannya sambil melihat-lihat rumah. Kasihan, beliau baru selesai berobat operasi tumor tapi makannya goreng-gorengan. Sudah kusarankan untuk makan sayur dan buah saja, jangan terlalu banyak gorengan.

Kalau sudah bercerita begini, aku kok jadi kepikiran. Siapa namanya ya, sayang sekali kami tidak berfoto bersama sebelum berpisah.

Kebun Buah Mangunan

Kami kembali ke Kebun buah Mangunan untuk berkunjung. Tempat ini masih dikelola oleh Dinas Pertanian dan perhutanan walaupun kelihatannya sumber pemasukan utamanya adalah dari wisatawan yang berkunjung, bukan dari penjualan buah-buahan.

ah susah bener difoto tanpa orang di sebelah...
Pemandangan yang kita lihat dari tempat ini memang lebih luas daripada dari Jurang Tembelan, tapi pengunjungnya juga lebih banyak dan 'bangunan' gardu pandangnya menurutku lebih berantakan. Sulit mengambil angle yang bagus di sini tanpa adanya para wisatawan lain yang lalu lalang.

Kami berada di sana sekitar pk. 8 pagi tapi matahari sudah terasa panas menyengat dan kabutpun sudah tidak ada. Kurang menarik kalau tanpa kabut, tempatnya jadi biasa-biasa saja. Jajan menjadi pilihan kedua. Sate, sosis 1 porsi isi 3 seharga 5k sudah ditambah mayonise lho, juga es dawet seharga 4k tapi rasanya kurang ngangenin. Kelapa mudanya di sini 10k tapi enak di Jurang Tembelan.  Aku mencoba makan tiwul, kue khas daerah sana. Seperti singkong atau kelapa parut. Aku sih gak terlalu suka. Kesimpulannya, tempat ini nothing special.

Tips: kita bisa parkir di dekat objek gardu pandang. Jadi jangan parkir di dekat pintu masuk, langsung saja arahkan mobil mengikuti papan petunjuk ke gardu pandang. Ada banyak petugas parkir yang mengatur keluar masuk kita.

Lebih baik gardu pandang yang kecil dan antri daripada lebar seperti ini kan
Sebenarnya ada hutan pinus yang ingin kukunjungi setelah ini. Tapi melihat keadaan Kebun buah Mangunan yang sudah kehilangan kabutnya, dan di Bandung juga ada hutan Pinus, anak-anak tak berminat lagi ke sana. Nanti sajalah kalau aku ke sana lagi, aku niatin lebih pagi lagi. HAHA. Biar dapat kabut di hutan pinus, belum pernah coba. Ada yang tahu kapan waktu yang tepat?

Air Terjun Sri Gethuk

Kami melanjutkan perjalanan, switch destinasi ke Air terjun Sri Gethuk. Dari yang aku baca, kita bisa naik rakit dan body rafting juga di sana. Anak-anak pasti suka. Jarak dari Mangunan ke sana kurang lebih 35 menit. Sekitar pk. 10 kurang kami tiba, sudah panas sekali. Di tempat yang sama, kita juga bisa mengunjungi Goa Rancang Kencono, sebuah situs purba tempat pertapaan.

Bagaimana ceritanya? Lihat caption pada gambar di bawah ini.
Expectancy 
Reality

Cendol in reality

Hehe.. mungkin kami datang di musim hujan, jadi kami mengunjungi kolam kopi susu. Airnya tidak terlalu jernih seperti yang terlihat di internet. Udaranya puanas pol. Untuk mencapai sungai kita harus menuruni tangga menurun beberapa ratus meter, so pulangnya kita harus naik ya saudara-saudara.

Naik rakit ke air terjun besar ini dikenakan biaya 10k per orang pulang pergi. Untuk body rafting dan sewa life jacket dibandrol 45k, tetapi saat itu sedang ramai sehingga harus menunggu 1.5 jam. Untung ramai, karena ketika di rakit kami melihat orang-orang yang berenang di sungai, air sungainya masuk ke mulut... hiiiy ogah.  Kami hanya sebentar sekali di air terjun besar ini. Terlalu penuh orang, tidak ada yang bisa dinikmati. Tak perlu ke sini lagi lah ya...

Kami sempatkan diri duduk-duduk di warung sambil memesan kelapa bakar untuk mengusir penasaran. Ternyata kelapa bakar itu panas sekali ya, dibakar berjam-jam sejak pagi. Sampai setengah jam kami nongkrong sambil ngemil tempe mendoan pun air kelapanya masih panas aje.

Kami bertemu dengan Mbah Jimin di warung itu. Usianya 105 tahun. Pekerja keras, setua itu masih rajin mengurus sapi dan membersihkan kandangnya.
Cicitnya Mbah sudah akan nikah. Sejak jaman Belanda saja Mbah Jimin sudah nyangkul di sawah, demikian kata cucu yang menemaninya.

Mulanya Mbah menolak untuk aku foto, katanya nanti dia disuru bayar. Haha.. gratis mbah, nda usah bayar, barulah si mbah tertawa-tawa. Orangnya ceria dan konon menyimpan duit hasil jual tiga buah sapinya di bawah kasur. Seratus juta lebih, dipakainya selembar selembar.

Mbah sehat, tidak pikun. Dia ingat punya uang berapa dan berhati-hati mengatur uangnya. Susah keluar.
Mbah pernah bertanya kepada cucunya, berapa harga sebuah mobil?
"Dua ratus juta Mbah," jawabnya.
"Itu satu pikul?" Tanyanya lagi.
Luar biasa kan? Duitnya dihitung pakai pikulan.

Goa Rancang Kencono


Hanya 50 meter dari tempat parkir mobil di dekat pintu masuk Sri Gethuk, ada situs purba yang berupa Goa. Aku dan Clay menyempatkan diri ke sana. Tempat persembunyian laskar mataram ketika mengusir Belanda dari Yogyakarta.

Ada 3 ruangan di dalam goa ini tapi kami hanya sampai di mulut goa saja. Seorang petugas mendekatiku dan menceritakan tentang Goa Rancang Kencana ini. Katanya di dalam ada prasasti garuda, dan goa ini masih suka dipakai untuk bertapa dan memberikan sesajen.

Sebuah pohon besar menjulang ini usianya sudah ratusan tahun. Petugas situs ini membantuku mencarikan angle andalan yang diambil oleh orang-orang photography jika memotret di sini. Harusnya menggunakan lensa wide supaya hasilnya lebih keren.

Kalau lihat foto sebelah, judulnya salah posisi. Harusnya Clay bergeser sedikit saja ke arah sinar matahari itu. Pasti lebih keren.

Setelah dirasa cukup, kami memutuskan untuk langsung menuju Kaliurang dan meninggalkan daerah Imogiri. Sayang sih, masih banyak yang ingin aku eksplore. Tapi kelihatannya timing  yang tepat sangat penting. Di hotel Kaliurang nanti mungkin anak-anak bisa berenang, mereka akan lebih enjoy. Nanti saja kita balik sini lagi yuk! Kita jalan-jalan sana sini. Iya, kita. Bareng kamu. *kedipkedip* (kode keras minta diajak balik ke Imogiri).

Cerita Kaliurangnya bersambung nanti ya, thanks sudah menyimak!



No comments:

Post a Comment